Rabu, 23 November 2016

“Ayo bersama wujudkan era Less Cash Society”



Bentuk sistem pembayaran di Indonesia mengalami evolusi. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan adalah lumrah di era pra modern. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang. Hingga saat ini, uang memang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat kita. Seiring kemajuan zaman, alat pembayaran berevolusi dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (less cash). Dari alat pembayaran nontunai yang berbasis kertas (paper based) seperti cek dan bilyet giro hingga yang berbasis nonkertas (paperless). Pembayaran yang nonkertas ini seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card based) seperti ATM, kartu kredit, kartu debit, dan kartu prabayar.

Masyarakat Indonesia baru dibangunkan untuk segera menyusul masyarakat dunia tanpa menggunakan uang tunai (less cash society/LCS). Sejak periode 2005-2006, kebijakan less cash society (LCS) mulai gencar menjadi bahan perbincangan di negeri ini. Beberapa kajian mengenai LCS yang sering diartikan sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen tunai di masyarakat pun sudah ramai dilakukan. Namun, BI baru secara resmi mencanangkan Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) pada 14 Agustus 2014. Sejak itu, kesadaran melakukan pembayaran atau bertransaksi secara nontunai lebih gencar dibangkitkan melalui berbagai upaya dan media. Terwujudnya Less Cash Society akan memiliki banyak manfaat bagi Indonesia yaitu meningkatkan sistem pembayaran yang cepat, aman, dan efisien, efisiensi ekonomi nasional, governance/transparansi pengelolaan keuangan pemerintah, layanan publik yang berkualitas dan lingkungan usaha yang ramah, dukungan human capacity development dalam rangka keuangan Inklusif termasuk literasi keuangan, dan dapat ikut bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

sumber : www.katadata.co.id




Berkaca pada negara swedia, satu dari lima negara dengan volume transaksi nontunai paling besar di dunia setelah Belgia, Perancis, Kanada, dan Inggris. Hampir setiap transaksi, mulai dari membeli majalah, naik bus, parkir kendaraan, hingga menyumbang ke tempat ibadah bisa dilakukan secara non tunai. Sehingga diprediksikan pada 2030 Swedia akan tuntas menerapkan less cash society. Penggunaan transaksi pembayaran elektronik di Indonesia dipandang masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Dengan kondisi geografi dan jumlah populasi yang cukup besar, terbuka lebar potensi untuk memperluas akses layanan sistem pembayaran di Indonesia. Di Indonesia, penggunaan transaksi non tunai tak lepas dari peran Bank Indonesia yang terus mendorong "Gerakan Nasional Non Tunai" Menurut data Bank Indonesia, transaksi non tunai selama 2014 hanya 31 persen dari jumlah keseluruhan transaksi ritel sebesar Rp 7.500 triliun.

Masyarakat Indonesia masih sangat terbiasa menggunakan uang tunai dalam bertransaksi. Sebagian orang beranggapan bahwa ‘rasanya belum memegang uang jika memegang kartu’. Alasan ini cukup relevan karena instrumen pembayaran non tunai belum menyeluruh dikenal masyarakat. Selain itu, relatif masih banyak masyarakat kita yang terbiasa membelanjakan uangnya di pasar tradisional, warung-warung, atau toko kelontong yang belum menyediakan prasarana non-tunai. Belum selesai sampai di situ, pada pelaksanaannya ada sebagian orang yang menganggap bertransaksi non tunai justru lebih ribet; memasukkan pin (pada kartu debet) atau memasukkan nomor (pada e-money) lebih memerlukan waktu dibanding mengambil berlembar-lembar uang tunai di dompet.

Meski memiliki banyak manfaat dan peluang-peluang transaksi non-tunai yang saling menguntungkan, tetapi ternyata di lapangan, transaksi pembayaran menggunakan uang tunai di Indonesia masih sangat tinggi, padahal uang tunai memiliki beberapa kelemahan. Transaksi pembayaran secara tunai, menurut Bank Indonesia, setidaknya punya tiga kelemahan, yakni:

1. Biaya Yang Besar
Bank Indonesia menyatakan, pengelolaan uang rupiah -meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan—memerlukan biaya yang sangat besar.

2. Repotnya Transaksi
Penyediaan uang kembalian, asal tahu saja, pihak pengelola jalan tol yakni PT Jasa Marga, membutuhkan uang kembalian sebesar Rp 2 miliar dalam satu hari; dan antrian yang lebih lama karena waktu transaksi di loket pembayaran yang terbilang lebih lama bila dibandingkan dengan menggunakan transaksi pembayaran tol secara non-tunai.

3. Tidak Tercatat
Transaksi pembayaran menggunakan uang tunai memberi peluang para pelaku tindakan kriminal, seperti pencucian uang, terorisme dan lainnya. Selain itu, perencanaan ekonomi menjadi kurang akurat karena ada banyak transaksi yang tidak tercatat atau shadow economy.

Dengan mempertimbangkan kelemahan uang tunai, belum lagi resiko keamanan, sekaligus untuk mengurangi gerak lihai para koruptor yang pernah kita dengar mereka gemar rupiah dan dolar secara tunai, penggunaan transaksi pembayaran secara non-tunai menjadi patut kita dukung terus pelaksanaannya. Tidak hanya dalam bentuk dukungan, tetapi semaksimal mungkin kita juga berkontribusi melakukannya karena semua demi kemudahan kita juga. Ayo kita songsong era di mana kita tidak perlu lagi membawa dompet tebal saat bepergian, cukup membawa beberapa kartu pembayaran. Kalau bisa, satu kartu untuk beragam pembayaran. Dengan demikian dengan melakukan hal tersebut kita telah berkontribusi dalam mewujudkan Gerakan Nasional Non Tunai yang telah dicanangkan oleh BI.
www.instagram.com/nindi.elsa